Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2017

Sendal Jepit Baru

Gambar
Oleh: Neni Nurachman Empat hari telah dilalui, di bulan Ramadhan ini. Segala kegiatan tahunan tentu sangat dinanti semua muslim. Termasuk di kampung tempat tinggal Keluarga Abah Iding. Ambu Itok menjadi bangun dini hari menyiapkan makan sahur. Anak-anaknya Ujang dan Ade,  kembali mengikuti pesantren ramadhan di mesjid jamie tengah kampung. Malam itu, usai tarawih di surau dekat rumahnya. Ade berbincang pada ibunya, Ambu Itok. Bercerita apa saja yang dia lajukan seharian. Terutama saat Ambu Itok belum oulang dari tempat kerja. "Bu, tau nggak? Sendal jepit Adul hilang sebelah. Jadi dia main nggak pakai sandal." Ade mulai menceritakan teman mainnya. Anak tetangga yang baru berusia 3 tahun. "Lalu?" Telisik Itok. "Tadi Ade memberi sendal ke Adul." Jawab Ade. "Sendal yang mana? Masa anak laki-laki memakai sendal perempuan. Kan nggak boleh itu." Sahut Itok. "Tadi,  Ade belikan sendal baru. Sendal jepit. Tujuh rebuan,  Mbu." Ade malanjut

Pelangi Belah Ketupat

Gambar
Oleh: Neni Nurachman Dia tertegun,  merenung. Hatinya belum berani mengutarakan hal ini. Sepulang tarawih malam ini. Tarawih pertama dalam hidupnya, pengalaman unik,  dan tentu bulan Ramadhan pertama setelah pernikahannya. Perempuan muda itu turut tinggal bersama suaminya, di sebuah rumah mungil area perumahabun. Walau baru mengontrak. Suaminya belum tahu apa yang dia lakukan tadi di mesjid. Yuli, perempuan yang sedang kebingungan, tetap duduk, masih berfikir kata yang baik dan sopan untuk bertutur pada suaminya. Dia putuskan,  untuk membicarakan esok hari saja. Momennya kurang pas jika diobrolkan sekarang ini. Dia bergegas menuju dapur. Memasak untuk persiapan sahur pertama, di rumah ini. Seadanya dengan hidangan request sang kekasih. Biar dihangatkan nanti jelang makan sahur. Malam berlalu. Tidur perempuan muda ini tak nyenyak. Bukan hanya karena sahur malam pertama di bulan Ramadhan yang dia lalui bersama sang suami. Dia masih memikirkan kalimat yang tepat untuk berbecara esok h

The Power of Target

Gambar
Oleh: Neni Nurachman Pernahkah kita menuliskan tujuan hari ini? Terlalu rumit memang jik tak biasa. Mengapa harus ditulis segala. Bisa jadi itu jawaban hati kecil kita. Jika tujuan lima atau sepuluh tahun yang akan datang? Bisa ada yang menjawab ya, bisa juga tidak. Hidup itu mengalir saja. Tidak usah dibuat ribet. Mengalir seperti air. Seperti itulah kira-kira yang pernah saya dengar. Maksudnya tentu hidup dibuat santai. Tidak menentukan capaian, atau kata lain target. Orang bebas berpendapat. Tetapi, ada juga yang menerjemahkan peribahasa 'hidup seperti air' itu penuh makna. Mengalir dengan kekuatan dan segala sifatnya. Jika dihambat dari satu sisi, maka dengan segala kekuatannya mengalir ke arah lain. Jika dihambat dari semua penjuru, maka meluap dan membuat banjir. Lain kepala, lain juga pendapat. Air yang fleksibel, menunjukan bahwa dalam hidup kita memiliki banyak target. Gagal target yang satu, pindah dan lakukan target lain. Target sering juga dinamai dengan impian

Milih Saha?

Ku: Neni Nurachman Tilu minggu ieu barudak leutik di buruan ngarobrol perkara pamilih. Naha milih Ahok-Jarot atawa milih Anis-Sandi. Rupa-rupa paripolahna teh. Nepika pasea parebut nomer dua jeung tilu. Ade jeung baturna milih nomer tilu. Ujang oge jeung sababaraha baturna milih nomer tilu. Aya oge sawareh barudak milih nomer dua. Adu regeng, persis jiga dina acara tipi, maseakeun nomer. Parea-rea omong pedah beda kahayang jeung beda pamilih. Nepika hiji waktu si Ade ditanya ku indungna, Ambu Itok. "Ade, naha ari rerencangan Ade nu namina Uly, lami tara ameng kadieu?" Tanya Ambu Itok . "Ah bongana milih nomer dua, Mbu." Jawabna teh pondok. Adu pamikiran nu ditayangkeun dina tipi, nerekab oge di pangulinan. Silih poyok, silih baeudan. Salila tilu mingguan. Komo deui kolot jigana teh. Boa aya nu nepi ka parasea. Nu bobogohan nepi ka putus. Muga-muga teu kakocap anu papirak alatan beda pamilih. Cunduk tanggal salapan belas april duarebu tujuhwelas. Ade jeung Ujan

Kotak Kayu Klasik

Gambar
Oleh: Neni Nurachman Gong bergaung teratur. Diantara alunan nada perangkat degung lainnya. Nyanyian sunda klasik bertubi memanjakan pendengaranku. Menikmati setiap dentang kecapi. Sinden belia berulang dan estafet melantunkan nada mengiris hati. Sesosok berkelebat di pelupuk mata. Tatapannya seolah nampak, tajam menusuk jantung. Senyumannya seperti nyata menggetarkan gelora jiwa. Belaian tangannya serasa mengelus rambutku. Semua serasa nyata. Dia hadir diantara semarak nada sunda.  Hari ini, meski kuning langsat kulitnya tenggelam dalam usia senja. Tetap bersih, apalagi rona wajahnya. Terpancar berbuah usapan wudhu setiap saat. "Nela, ambilkan kotak di dalam lemari. Di rak paling bawah ya." Perempuan tua itu terbata, dibalik desah nafas tersenggal. "Baik, Nek. Sebentar." Aku bergegas, mencari benda yang diminta Nenek. Aku hampiri lemari jati, berukir jepara. Sedikit berdebu. Tiga bulan tak pernah tersentuh kemoceng. Semenjak nenek sakit, entah sakit apa. Setiap