Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Riuh

Memandang orang Resah hatinya Meracau kalimat kacau Menyimak Ungkapan frontal Arogansi diri memuncak Berucap beralinea Merasa pintar Abaikan nilai rasa Memadu kata Hati tersakiti Tajam lidah menghujam Keras hati Membela diri Abai harga diri teman Rawa, 31 Maret 2017 # Berantai #PuisiNeni

Elok

Pipi merona Disapu tisu Tertunduk malu Malu menatap Senyum pangeran Jemari tetap tertahan Tanya berulang Masih terdiam Mengangguk pun enggan semua memandang Berjuta tanya Semakin menunduk tanpa angguk mata berbinar Tersenyum Angguk berbuah bahagia Tangan terulur Saling menatap Cincin tersemat dijari Duduk gelisah terbirit Dentum tertahan beraroma Langkah tertahan Memaku Riuh tawa bergemuruh Tetap mematung Semakin menyeruak Tangan-tangan menutup hidung #Puisi_Neni Rawa,31 Maret 2017 Neni Nurachman

Langit Pesatren

Gambar
Seperti kapas bertaburan Tanpa arak tanpa gerak Bening Walau itu bukan air Terbaris rapi antar warna Meski melawan raja cahaya Kau tetap menebar pesona Meski semakin meredup Tatap ini tak hendak beralih Membersamaimu Hingga kau lenyap dari pandangan Ku kan merindu tentu Walau kedatanganmu tak dapat diterka Kehadiranmu lain dari kemarin Mempesona jiwa Melibgkar di atas atap Bak cincin raksasa di langit pesantren *** Neni Nurachman Cintawana, 29 Maret 2017 #Puisi_Neni

Dilema

Ke kanan satu Menjemput cita-cita Meraih mimpi Ke kiri satu Berjumpa dengan cinta Berbahagia Diri termenung Memutuskan pilihan Aku dilema Tangan melambai Menyapa kerumunan Senyum tersungging Pelan mengangguk Menunduk raut sendu Hati mengaduh Diri termenung Memutuskan pilihan Aku dilema Rawa,1 April 2017 Neni Nurachman

Pagi

Embun berbulir Semburat menyeruak fajar menyingsing pagiku di sini Membersamai kokok ayam Pagimu? Kabut bergumul Dingin Angin tebing Ciremai Fajar mengintip Ombak berdebur Pagi tepi pantai Burung berkicau Tangga membayang Galunggung berselimut kabut Klakson bersahutan Berburu waktu Jelang masuk kelas Peluit nyaring Ojek berhenti Tilang tanpa helm Tangan merogoh termenug bingung Dompet tertinggal Dimana pagiku? Ah, tentu Ia selalu tangkas Memulai hari Melesat, Mengantar mimpi Menanti di tepi senja Berawan, Terang Atau bahkan pekat Selalu sempurna Tunaikan titahNya Tak pernah lelah Beningnya embun Semilir angin Kokok ayam Samar samar kudengar Tak hanya pagi Bahkan setiap kali Begitu sehari hari Deru mesin Lekat ditelinga Mengepul Kau tahu? Ada Bentangan kecil Melebar Dan lalu memanjang Melewati akar bebatuan Berhulu mengilir ke samudera Adalah mahakam Pelipurku Ketika rindu membuncah Pada deretan tebing Tempat kakiku memijak Pada

Sinopsis Pelangi di Langit Selatan

Gambar
Bagaimana perjalanan mengejar cita-cita sehingga bisa mendapat tugas belajar di luar negeri? Apa yang telah dialami dan apa yang telah didapatkan selama tugas belajar itu? Dalam buku ini diceritakan pengalaman guru Jawa Barat yang mendapat tugas belajar selama 3 minggu di sekolah-sekolah Australia Selatan. Perjuangannya untuk lolos seleksi dan terpilih sebagai peserta. Catatan-catatan menakjubkan saat terlibat dalam dinamika sistem pendidikan dan budaya masyarakat Australia yang berbeda dengan Indonesia. Hal-hal seru dan berkesan selama tinggal dengan warga lokal. Pembaca dapat mengambil hikmah dan ilham atau ide baru dengan membaca buku ini. Banyak hal yang ditemukan oleh para guru peserta program tigas belajar di Australia untuk diterapkan menjadi kebijakan dan kegiatan pembelajaran di kelas atau sekolah kita. Selamat memesan dan membaca...

Kabut Senja

Kabut Senja Oleh: Neni Nurachman Rimbun menutupi cahaya Berlapis kabut menyeruakan dingin Meski tanpa rintik terjatuh Beduk magrib belum ditabuh Pelita segera menolong indra penglihat Sesekali semburat jingga menerobos arakan awan Tigaratus kali ku lewati Sebanyak itu pula diri menanti Dibatas hari Hati berdegup berwujud sendu Kala kain tanpa noda menjadi pakaianmu Kelak akan menjadi pakaianku juga Membersamaimu kelak di surga Nya Adalah asa kita. #Puisi_WA_Neni Rawa, 26 Maret 2017

Terima Kasih

Oleh: Neni Nurachman Sekedar belajar menata kata Menyusun dan merangkai Dipadukan dengan suara tanpa nada Berbagi kabar berguna Semua penjuru ada salah, menuju raga Pikir tak sempurna walau tetap berucap jua Aku bukan angka sempurna Insan berjuta asa Memiliki nol koma bisa Bermimpi berbagi Bercita menjulang dalam keterbatasan karsa Aku hanya punya itu Terima kasih telah menyempurnakan kata, kalimat dan bahasa meski kau hanya membisikannya dan itu pun kepada orang lain Bukankah kau tahu? Bahwa aku masih memiliki kedua telinga yang dapat mendengarkanmu. *** #Puisi_WA_Neni Neni Nurachman Mageung, 26 Maret 2017

Pelangi Rasa

Gambar
Oleh: Neni Nurachman. Gemercik rintik hujan belum juga berhenti, hingga selarut ini. Tumbukan tetes air hujan di genting bersahutan. Aku terus berkutat dengan lembaran analisis tugas praktikum. Jengah, tetapi terus kunikmati kesahaduan irama hujan,  berbaur dengan alunan musik klasik. Handphone berkelip berulangkali, aku abaikan hanya dilirik saja.Target laporan praktikum selsai pukul 23.00 WIB. Kumandang adzan shubuh membangunkanku. Aku terpana melihat lembar-lembar yang belum tertata rapi, kusut dan sedikit berantakan. Aku pulas seusai merampungkan laporan. Aku lekas merapikan dan menjilid alakadarnya,lalu bergegas untuk sholat. Hari ini cukup padat perkuliahan.Jelang UAS, makin menumpuk tugas Semua ingin segera libur, lumayan panjang hingga kelak awal september. Kerinduan kampung halaman nan hijau nun jauh di kaki gunung Galunggung. Rindu ritual meniti ketebalan pasir menuju puncak. Rindu menelusuri semak belukar lalu meluncur,  dari puncak menuju dasar menyentuh air kawah. Kemud

Rantai Rasa

Binar melalui celah sempit sudut matamu Beradu, hingga terpana Berjuta degup di dadamu terhenti Bukan untukmu Sesekali kau telusur bulat mataku Terpancar utuh dari kedua bola matamu Hanya untukku Tak kau hirau Walau binarku tak kuberi Tetap kau memaku Dalam rajut rindu Walau kau tahu Hanya dia yang mampu membuatku hanyut Melebur dalam gebu nan syahdu Tempat beradu Bahagaia pun pilu Bersamanya ku memadu rindu *** Rawa, 22 Maret 2017 Neni Nurachman

Sorban Merah di Hari Pertama

Gambar
Oleh: Neni Nurachman "Niiii, hayu" Tiga suara remaja tanggung memanggilnya. "Bentarrrr." Sahut Nuraini, gadis mungil itu keluar menghampiri ketiga temannya. Turun dari babancik. Tas ransel biru tua bertepngger di punggungnya. Tersenyum lebar menghampiri ketiga temannya. Sesekali memperbaiki jilbab putih. Pagi ini, dia memakai seragam baru. Putih-biru, tiada lagi warna merah di topi dan rok. Tegap, melangkah meninggalkan rumah panggung sang nenek. Berempat melangkah, semangat baru, menuju sekolah baru. Nuraini, Cecep, Mimin dan Esih. "Cep, kok atributnya belum dipasang?" Mimin menatap Cecep. "Cecep belum beli, Min." Tak bergeming, tetap berjalan terdepan. "Ayo, nanti kesiangan." Cecep mempercepat langkah. Berempat menyusuri jalan desa. Deretan batu tertata rapi. Tak terasa sakit, mereka menggunakan sepatu. Sepatu masih baru. Setelah satu minggu melalui masa orientasi di SMP Negeri Pasir Angin. Hari inilah perwujudan harapan dimula

Antrian Iteung

Gambar
Oleh: Neni Nurachman "Lho kok bisa? Tadi kan dia datang 30 menit lalu. Kok duluan dipanggil?" Gumam seorang gadis kuliahaan. Rupanya kesal dengan penantiannya. Mungkin sama juga dengan para penunggu lainnya. "Mba, tadi kita kan berurutan ya menyimpan berkasnya?" Iteung bertanya ke perempuan tadi yang bergumam. Sama sebetulnya, Iteung juga merasa tidak nyaman. Iteung dan Rika, nama perempuan kuliahan tadi, mengantri pertama dan kedua. Mereka datang saat para petugas masih istirahat. Setelah menunggu dua jam tanpa kabar. Petugas pun memanggil para pengantri satu persatu. "Alamat kita dipanggil terahir, Ceu." Ujar Rika. "Kenapa, mba? Kapan kita tadi pertama dan kedua antri nya. Kok bisa jadi terahir?" Iteung polos. "Gini Ceu. Itu tadi yang pertama dipanggil adalah orang yang datang paling ahir. Otomatis lah kita berada paling bawah. Mestinya tumpukan itu dibalik. Jangan seadanya menumpuk. Jadi yang paling bawah ya yang pertama datang. Say

Mengapa Namaku Sarbeni?

Gambar
Oleh: Neni Nurachman*) “Mak, pokok nya aku mau ganti nama!!!” Gadis tomboy itu tiba-tiba merengek. Tanpa  mempedulikan ucapan nenek nya yang menyuruh lekas berganti pakaian. “Nanti, jika kamu ganti nama, Mak harus mengundang tetangga. Membuat bubur merah dan bubur putih kembali. Darimana Emak mempunyai uang untuk itu?” Lembut, perempuan paruh baya itu berucap. Tangannya mengelus rambut cepak cucunya, yang masih memakai topi merah. “Emak bilang saja ke Bapak. Biar nanti Mamah yang membuat bubur merah dan bubur putihnya.” Hardik gadis itu. Tangisnya hampir pecah. “Ada apa, Ben? Tiba-tiba saja kau permasalahkan namamu sendiri?” Kembali lirih, Emak Unah menatap gadis kecil itu. “Lagian, Bapak dan mamah mu jauh. Pulang kesini entah mungkin lebaran nanti. Atau malah lebaran ini nggak pulang.” Ujar Emak Unah. Tetap bertutur lembut. Walau gadis kecil di hadapannya mulai berurai air mata. Emak Unah meninggalkan gadis kecil itu. Kebiasaannya, jika dia sedih dan gundah seperti ini, lebih b

Lentera Kakek Tua

Oleh : Nie Noor Lentera bergoyang pelan, Sesekali tergantung tenang. Mengecil hapir padam tertiup angin lembah. Ramai anak-anak kampung mengaji. Sesekali muncul suara seorang kakek meluruskan bacaan mereka. Suara batuk berada diantara keriuhan. Hingga beduk dan kumandang adzan isya menyeruak Melemah lalu menguat terbawa angin malam. Sesaat senyap, Dua kali kalimat aamiin nyaring, Kemudian senyap. Kompak suara anak-anak walau tak seirama. Binar nampak dari pelupuk renta. Mengantarkan anak-anak kampung beranjak, Pulang menemui Emak dan Bapak mereka. Kesunyian kembali hadir di surau itu. Tinggalah kakek berjanggut putih sepi sendiri. Bermunazat, Hingga lelap tiba, Hingga jelang fajar belum terjaga. Dia pergi menemui Sang Maha Kuasa. Dalam sungkur sujud tahajud. #Rawa, 02 Maret 2016.